Sajak-sajak Ipul Azka Dzulkifly
Ipul Azka Dzulkifly
Selembar Peta dan Segenggam Sajak untuk Sang Lelana
Wajahmu dikelilingi senja
Lumpur dan kerikil menjadi sepatu tua
Belum lelah? Dan mengeluh,
Kau meniti sore
Apa yang kau cari?
Jalan liku, gunung, pantai,
Kampung-kampung lapar, kota-kota binasa
Orang-orang gila dan sakit kepala
Untuk apa kau temui
Itu bukan pesan ayahmu?
Saat ini sakit sedang singgah di kampungmu
Bukan pula wasiat ibumu?
Saat ini derita sedang mampir di rumahmu
Namun baiklah!
Bila kau temukan huruf-huruf dan sandi-sandi, kabari aku
Biar aku mengikutimu
Sampai lampu angkasa dipadamkan
Hingga tinggal pijarku dan cahayamu
7 Juli 2005
Ipul Azka Dzulkifly
Nafas Hitam
Semua kini berbatas, pada kekosongan air
Telah terisi ceceran keringat kota, tak mengalir
Menatap lembah, ia berkata, pahami!
Setiap lubukku adalah nafas bagi perjuanganmu, kemana hendak membeli
hidup? Kau tak bisa lari dari kabut, asap pembakaran dan bising knalpot
Pejalan kaki berhenti pada sebidang oase
Bilur-bilur senja menanam kebencian
Tak perlu menangis, nafasmu kini hitam
Seperti cerobong dan irama lalu lintas
Seekor kupu-kupu mati diantara daun-daun kuning, bukan bunga
kamboja!
Melainkan daun kerinduan yang tak berbayang oleh cinta manusia
Mengapa batu-batu berhenti bertasbih?
Satu-satu bunga menangis
Menanam airmata di perut bumi yang kini keroncongan dan kerontang
Kemudian, pada rumput-rumput yang bersetubuh dengan pagi
Menahan puasa dan kerinduan
Membunuh dahan di sawah basah
Hujan-hujan patah
Langit enggan menyapa malam!
Wahai, andai malam mengundang hujan
Bukit-bukit menjadi butir-butir sirri
Pohon, rumput, udara, bunga, air, kamboja, tanaman petani, dahan-dahan
sepi, semua berbisik kata yang sama
“mengapa cinta kami tak berbalas, bertepuk sebelah tangan”
padamu
Maafkan aku!
18 Juli 2005
Explore posts in the same categories: Seni & Budaya You can comment below, or link to this permanent URL from your own site.
Tinggalkan komentar