Jostein Gaarder: Penulis yang Terpukau Dengan Dunia

Ditulis Oktober 16, 2011 oleh sinauseni
Kategori: Seni & Budaya

Penulis Norwegia Jostein Gaarder mulai dikenal di Indonesia lewat buku “Dunia Sophie”. Buku ini mengajak pembacanya belajar teori filsafat melalui petualangan seru seorang anak bernama Sophie. Sembari mengikuti petualangan Sophie, pembaca tanpa sadar dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hidup dan eksistensi manusia.

“Dunia Sophie” diterjemahkan di 60 bahasa dan terjual lebih dari 30 juta eksemplar di seluruh dunia. Awalnya buku ini justru dimaksudkan sebagai buku nonkomersial. Jostein mengira buku itu hanya akan dibaca oleh pelajar Norwegia. “Saya tak yakin Dunia Sophie akan dibaca banyak orang, atau menghasilkan banyak uang,” kata Jostein di Jakarta, 11 Oktober 2011.

Ternyata, novel itu justru menjadi bukunya yang paling sukses dan masih terus dicetak ulang.  Padahal, Jostein mengakui, buku itu lebih banyak membahas filsafat Barat. “Seandainya saya tahu buku ini akan terjual di seluruh dunia, saya tentu akan memasukkan lebih banyak jenis filsafat ke dalamnya seperti filsafat Timur, sufisme, agama-agama,” ujar penulis berusia 59 tahun ini.

Novel pertama Jostein sebagai penulis adalah “Misteri Soliter”. Kini dia telah menghasilkan setidaknya 16 buku. Delapan bukunya sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Selain “Dunia Sophie” terbitan Mizan, ada pula “Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken”, “Cecilia dan Malaikat Ariel”, “Maya”, “Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng”, “Gadis Jeruk”, “Vita Brevis” dan “Misteri Soliter”.

Jostein memulai ketertarikannya terhadap filsafat sejak masih kanak-kanak. “Sejak kecil saya merasa menjadi bagian dari misteri. Bahwa keberadaan kita di dunia adalah sebuah misteri dan saya tak tahu apa yang terjadi,” katanya.

Pertanyaan itu disampaikan pada orang tuanya, tapi tak mendapat jawaban yang memuaskan. “Orang dewasa selalu berkata bahwa tak ada yang aneh dari keberadaan manusia di dunia. Sejak saat itu saya bertekad tak akan pernah menjadi orang dewasa, karena saya ingin selalu terpukau dengan dunia,” kata dia.

Menurutnya, orang-orang ingin menjadi penulis karena berbagai alasan. Ada yang karena suka menyusun kata-kata. Tapi Jostein menulis karena punya pesan dan pertanyaan untuk disampaikan.

Berikut ini adalah dialog antara Jostein dan pembacanya dalam acara temu pembaca di Gramedia Matraman, Jakarta, Selasa 11 Oktober 2011. Puluhan fans bersemangat bertanya, meminta tanda tangan dan berfoto bersama Jostein, yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dangan jenaka.

Enam pertanyaan pertama, Jostein menyebutkan pertanyaan tentang “Dunia Sophie” yang paling sering ditanyakan orang di seluruh dunia:

1. Kenapa buku itu bisa laku keras?
Saya tak tahu, tapi saya punya teori. Mungkin, buku itu laku karena narasinya. Otak manusia lebih menyukai cerita daripada informasi dalam buku teks atau ensiklopedia. Jika diberitahu data-data tentang Jakarta, saya akan tertarik tapi segera melupakannya. Beda halnya jika Jakarta dikisahkan dalam cerita.

2. Kenapa cerita tentang filsafat?
Karena banyak orang yang merasa filsafat itu penting dan ingin mempelajarinya, tapi tak kunjung belajar karena filsafat juga dianggap membosankan.

3. Apakah buku itu ditulis dalam bahasa Inggris? Kenapa tidak?
Tentu saja tidak, dan tak akan pernah. Karena Inggris bukan bahasa saya, tentunya saya lebih nyaman menulis dengan bahasa ibu.

4. Kenapa memilih karakter anak perempuan sebagai tokoh utama?
Kenapa tidak? Tapi Sophie artinya kebijaksanaan, sedangkan filosofi adalah keinginan untuk mencapai kebijaksanaan, yang merupakan sifat yang feminis. Kita tahu bahwa Tuhan punya sisi feminis, yang dicerminkan di Hagia Sophia di Turki, misalnya. Bahkan dalam mitologi Yunani Kuno, dewi kebijakan adalah perempuan, Athena.

5. Kenapa kebijaksanaan adalah sifat feminis?
Teori saya, karena perempuan selalu berusaha memahami sesuatu, sedangkan laki-laki hanya ingin dipahami. (tertawa)

6. Tapi banyak filsuf justru berjenis kelamin laki-laki?
Dulu, dunia sangat patriarkis. Cuma laki-laki yang boleh mengenyam pendidikan dan bersekolah. Perempuan tak boleh belajar. Bukan berarti tak ada filsuf perempuan, hanya saja mereka tak banyak dikenal. Zaman dulu sangat berbahaya jika perempuan mengemukakan pendapatnya. Misalnya waktu revolusi Perancis, seorang perempuan meminta hak politik yang sama, Robesspierre sendiri yang memenggal kepalanya. Untungnya sekarang keadaan sudah jauh, jauh lebih baik.

Beberapa waktu lalu para blogger mengadakan Gaarderfest, dan menemukan bahwa selalu ada karakter yang menulis surat dalam buku Anda. Kenapa?
Saya sangat tertarik dengan imajinasi manusia. Saya memang banyak menulis cerita berbingkai, dimana ada cerita di dalam cerita, dan itu dipermudah dengan metode surat. Saat seseorang menulis surat, dia tak hanya menulis tapi juga mengungkapkan dirinya melalui tulisannya. Menurut saya, itu sangat sensual.

Tokoh Cecilia di buku “Cecilia dan Malaikat Ariel”, menceritakan dirinya melalui surat. “Dunia Sophie” juga cerita berbingkai, dan Sophie bukan tokoh utamanya. Tokoh utamanya justru si Ayah yang menulis cerita tentang Sophie.

Buku apa yang Anda anggap sebagai karya terbaik?
Sulit menjawab pertanyaan ini, seperti bertanya kepada ayah siapa anak perempuan favoritnya. Tapi kalau harus memilih, saya pilih “Misteri Soliter”. Ada juga “Gadis Jeruk” dan “Through a Glass Darkly” yang saya saya suka karakternya. Buku-buku ini seperti anak perempuan yang tak pernah saya miliki.

Kenapa banyak buku Anda berkisah tentang anak-anak?
Saya memang kagum dengan anak-anak. Anak-anak selalu bertanya. Mereka adalah filsuf tanpa harus membaca aneka buku. Anak-anak punya kemampuan untuk selalu terpukau dengan dunia.

Anda memberikan Sophie Prize untuk orang yang berprestasi di bidang lingkungan. Kenapa memilih fokus pada lingkungan?
Seandainya saya menulis “Dunia Sophie” sekarang,  pasti buku itu akan sangat berbeda. Saya akan menulis lebih banyak tentang lingkungan. Lingkungan kita ini sebetulnya berkaitan erat dengan filsafat. Bagaimana kita akan menjaga kelestarian bumi? Itu adalah pertanyaan yang paling filosofis.

Menjaga kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab global, tanggung jawab kosmis kita sebagai manusia. Planet ini hanya satu-satunya di alam semesta dan harus dijaga.

Kebetulan hasil penjualan “Dunia Sophie” menghasilkan banyak uang, maka uang itu harus digunakan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan. Penghargaan tahunan ini diberikan pada individu atau kelompok senilai USD 100 ribu.

Apa impian Anda?
Itu menjadi impian saya, menjaga lingkungan dari kerusakan. Misalnya saya dihadapkan dua pilihan: 1) saya berumur panjang dan bahagia tapi bumi rusak atau 2) saya mati sekarang tapi bumi dan isinya menjadi lestari, saya pasti pilih mati sekarang juga. Percuma hidup bahagia jika dunia rusak.

Apa sebenarnya filsafat itu? Pandangan filsafat mana yang jadi pedoman Anda?
Pertanyaan yang ditanyakan manusia, itulah filsafat. Pertanyaan ini terus berkembang. Misalnya dulu orang bertanya kenapa kita sakit? Ini sudah dijelaskan oleh medis. Ada apa di bulan? Sekarang sudah bisa dijawab.  Sangat menakjubkan betapa ilmu pengetahuan telah berkembang.

Tapi tetap ada pertanyaan yang tak terjawab. Apa itu kebahagiaan? Apa yang paling berharga dalam hidup? Apa itu cinta? Kita tak bisa membentuk negara tanpa bertanya, apa itu keadilan? Setiap orang selalu bertanya hal ini, meskipun kita tak bisa berharap mengerti cinta sepenuhnya.

Ada yang bertanya, siapa Tuhan? Apa yang terjadi setelah mati? Agama-agama –misalnya Islam, Budha, Kristen– menjawab pertanyaan ini dengan kepercayaan. Jadi sebetulnya agama dan filsafat tidak bertentangan.

Pertanyaan-pertanyaan itu berawal dari rasa terpukau terhadap dunia dan kehidupan. Terpukau pada dunia adalah hal yang alami muncul sejak lahir. Bahkan cucu saya yang masih bayipun menengok ke sekeliling dengan kekaguman, padahal dia belum bisa berpikir. Manusia sebenarnya terlahir sebagai filsuf, kita hanya harus menjaga rasa penasaran itu.

Sayangnya, banyak orang dewasa yang butuh stimulan untuk merasa terpukau. Kita butuh obat, butuh hantu dan alien untuk merasa terpesona. Saya sendiri selalu merasa seperti alien. Saya melihat diri saya di cermin dan bertanya, “Siapa saya?” Saya masih terpukau.

Oleh Famega Syavira Putri | Yahoo News – Kam, 13 Okt 2011

 

Sumber : http://id.berita.yahoo.com/jostein-gaarder–penulis-yang-terpukau-dengan-dunia.html

Bian Lian Seni Mengubah Wajah

Ditulis Oktober 13, 2011 oleh sinauseni
Kategori: Seni & Budaya

Seni pertunjukan ini menjadi sesuatu yang istimewa. Melalui tradisi yang ketat, ia diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi dalam keluarga. Mereka yang telah mempelajarinya akan sanggup melakukan perubahan rias wajah hanya dalam hitungan detik. Inilah seni dari daratan Tiongkok yang dikenal sebagai bian lian, suatu seni mengubah wajah!

Bian lain (face changing-ubah wajah) adalah suatu seni opera (drama) Tiongkok kuno. Menjadi bagian penting dalam seni pertunjukan opera Sichuan di kota bernama Cheng Du di Provinsi Sichuan RRC. Pertunjukan ini memang sangat istimewa, karena pemain yang menguasai teknik dan seni bian lian bisa mengubah tampilan wajah dalam hitungan detik di atas pentas di depan sejumlah mata pengunjung. Mereka bisa melakukan perubahan itu berkali-kali, hanya dalam satu menit.

 

Para pemain bian lian biasanya mengecat wajah mereka dengan warna-warna menyolok menjadi semacam topeng. Penampilan itu didukung dengan kostum yang juga penuh warna. Saat pertunjukan berlangsung dan membutuhkan perubahan mimik yang menggambarkan perasaan, emosi dan situasi yang dihadapi dalam lakon, maka pemain bian lian dengan secepat kilat bisa bersalin rupa dengan warna-warna cat wajah yang berbeda. Bahkan lebih cepat dari kemampuan mata untuk melihat proses perubahan itu terjadi. Hanya dengan gerakan gemulai tangan atau sedikit gerakan badan, anggukan kepala atau berpaling sekejap saja, para pemain bian lian bisa mengubah rias wajah mereka.

 

Jejak Sejarah

 

Bian lian memang sudah dikenal paling tidak sejak 300 tahun lalu pada masa Dinasti Qing (1736-1795) masa pemerintahan Kaisar Qianlong. Ia menjadi seni pertunjukan yang erat dengan tradisi suatu keluarga. Mulanya, bian lian adalah seni pertunjukan jalanan tradisional yang lazim di wilayah Sichuan. Generasi awal yang menguasai teknik bian lian menggunakan kemampuan mereka untuk mencari nafkah dan pertunjukan jalanan ini menarik minat publik, sehingga selalu ramai ditonton.

 

Karena sifatnya yang istimewa, seni opera mulai melirik bian lian untuk digabung dalam sebuah pementasan. Maka bian lian pun dipertontonkan dalam ruang khusus bersama penampilan opera Sichuan. Teknik bian lian digunakan untuk mewakili perasaan, pikiran, emosi dan mimik tokoh dalam sebuah lakon. Opera Sichuan dan bian lian kemudian menyatu dan hampir tak terpisahkan lagi menjadi satu seni pertunjukan seni opera yang mampu memukau dunia.

 

Dalam tradisi pemilik “ilmu” bian lian, teknik tersebut akan diturunkan kepada anak-anak lelaki mereka dan tidak pada perempuan. Tradisi kuno secara ketat melarang keras seni bian lian diwariskan pada orang “luar”. Dengan begitu, seni salin rupa ini tetap menjadi rahasia keluarga yang terjaga dari generasi ke generasi. Masing-masing keluarga yang mewariskan teknik-teknik bian lian punya kekhasan ciri tersendiri. Mereka menjaga ketat warisan keluarga itu, sehingga bian lian menjadi semacam misteri seni yang lestari dan tidak diketahui umum.

 

Dikenal Dunia

 

Nama Cai Shao Bo dikenal sebagai master (guru besar) bian lian. Ia menjabat sebagai wakil ketua persatuan opera Sichuan di Cheng Du, yang dikenal luas sebagai pemain bian lian yang paling lihai. Dalam satu menit, master Bo mampu bersalin rupa 10 kali! Bian lian mulai dikenal luas dalam seni pertunjukan sekitar tahun 1920-an – 1930-an. Saat itu, seorang master bian lian bernama Kang Zilin dinobatkan sebagai “dewa” dalam opera Sichuan yang memadu teknik bian lian.

 

Kisah yang terkenal dalam opera Sichuan masa itu adalah tentang “pahlawan” yang menjadi buronan. Dalam lakon tersebut, Kang Zilin harus mengubah wajah dan identitas sebanyak 9 kali dalam satu adegan. Karena sesuai cerita, ia harus biasa menyamar dan menghindar dari kejaran pasukan pemerintah. Dari sinilah teknik bian lian yang diterapkan mampu memukau penonton. Maka bian lian pun diadopsi dalam pertunjukan opera Sichuan.

 

Sejak pementasan tersebut, bian lian menjadi pembicaraan hangat di Sichuan, bahkan menyebar ke seluruh daratan Tiongkok. Namun, terkenalnya opera Sichuan dan seni bian lian sampai ke daratan Eropa dan sebagian besar Asia, justru pada pertunjukan “Legenda Siluman Ular Putih” (White Snake Legend). Dalam pertunjukan operanya, teknik bian lian digunakan saat tokoh biksu Fa Hai yang akan menumpas siluman ular putih terdesak oleh sekelompok prajurit dari laut (kepiting, udang dan ikan) pimpinan siluman ular putih.

 

Dalam versi aslinya, sebenarnya Fa Hai menggunakan “mustika” semacam mangkuk emas pemberian Sang Buddha untuk menumpas siluman ular putih. Namun dalam versi opera Sichuan, mangkok emas itu disimbolkan sebagai seorang bocah. Pada lakon ini, si bocah menerapkan teknik bian lian dengan mengubah warna wajah sebanyak delapan kali dari hitam, merah, biru, putih, kuning dan seterusnya. Proses perubahan warna wajah yang cepat ini membuat dunia tersentak dalam kekaguman.

 

Dari sinilah opera Sichuan dengan teknik bian lian-nya kemudian sering diundang untuk mementaskan opera mereka di banyak negara! Lalu bian lian pun menjadi populer hampir di seluruh dunia sebagai sebuah seni pertunjukan yang memukau. Namun kini ia menjadi seni pertunjukan terpisah dan lebih terkenal ketimbang opera Sichuan.

 

Mengungkap Misteri Seni Bian Lian

 

Sebuah panggung pertunjukan opera di Kota Cheng Du di Provinsi Sichuan, RRC mulai dipenuhi penonton. Bagai dengungan lebah, mereka menanti pertunjukan opera Sichuan yang tersohor dengan teknik bian lian. Saat pemain dengan kostum model kuno yang berwarna-warni berikut wajah yang dihias dengan aneka cat semarak penuh warna berbaris di pentas, suara bising mendadak senyap. Pertunjukan bian lian pun dimulai. Tampak pemain melenggang dengan iringan orkes. Lalu hanya dengan menggerakkan lengan baju melintasi wajah, rupa mereka telah berubah. Disusul adegan gerakan badan dan warna wajah kembali berubah. Lantas hanya dengan menggerakkan kepala, wajah pemain itu pun sekali lagi berubah dengan cepat.

 

Penonton bertepuk riuh di tengah kekaguman yang tak habis-habisnya. Pemain kemudian tersenyum dengan gerakan kepala dan wajah mereka kembali berubah. Kemudian para pemain turun ke tribun penonton dan menyalami penonton terdepan, seiring dengan perubahan wajah yang terus terjadi. Penonton semakin terkagum-kagum. Betapa tidak, hanya dalam jarak satu meter lebih, mereka dikejutkan dengan perubahan cat wajah si pemain di depan mata mereka sendiri dengan sangat tiba-tiba.

 

Begitulah seni salin rupa bian lian tersebut dilakukan. Hanya dengan gerakan kecil saja, pemainnya sudah bisa bersalin rupa. Ini merupakan suatu seni tingkat tinggi yang tidak sembarangan orang bisa melakoninya. Bagaimana sebenarnya salin rupa itu dilakukan? Belakangan, misteri tersebut perlahan mulai dikuak. Beberapa analisis seni dan teknik pertunjukan bian lian menyatakan bahwa ada tiga teknik dasar dalam seni bian lian. Pertama menghembus wajah, kedua mengusap wajah, dan ketiga menarik wajah.

 

Teknik pertama, menghembus wajah. Dilakukan dengan menggunakan media bantu berupa wadah (semacam mangkuk) yang bisa menyimpan tepung atau bedak warna seperti emas, perak, hitam, putih, merah dan lain sebagainya. Warna bedak pada wadah ini akan ditiup dengan cepat, sehingga melekat ke wajah yang sudah dilabur semacam minyak khusus, sehingga dalam waktu singkat wajah pemain sudah berubah.

 

Teknik ini terlihat dalam lakon opera Sichuan tentang kisah seorang komandan tentara bernama Zi Du. Saat pasukan mereka akan memenangkan perang melawan musuh, ia merencanakan pembunuhan terhadap panglimanya. Begitu ada kesempatan di medan perang, ia kemudian membunuh sang panglima. Hal itu dilakukan demi ketenaran nama dan harta. Pasukan tersebut kemudian kembali ke istana dan kaisar yang senang atas kemenangan pertempuran mengadakan pesta penyambutan. Zi Du yang mendapat puja puji ternyata merasa bersalah dan hatinya tak tenang. Wajah sang panglima menghantuinya. Saat ia akan menenggak arak dalam pesta pora itu, ia melihat wajah panglimanya di sana.

 

Untuk menunjukkan ekspresi dan emosi keterkejutan itu, pemeran Zi Du tiba-tiba bersalin rupa dan wajahnya berubah warna menjadi kepucatan. Teknik yang dipakai adalah menghembuskan bedak yang disiapkan di dalam cawan minumnya. Lalu terjadi lagi hingga pucat pasi dengan teknik yang sama. Teknik kedua adalah mengusap wajah. Hal ini dilakukan dengan gerakan tangan yang seolah mengusap wajah. Rias wajah awal mereka memang telah disiapkan dengan warna yang bisa dihapus dengan cepat. Sejumlah warna ditimpa dalam beberapa lapis. Saat akan mengubah wajah pertama, lapisan teratas diusap, sehingga memunculkan warna di bawahnya. Saat perubahan, kedua warna tersebut dihapus lagi hingga memunculkan warna di bawahnya, demikian seterusnya. Teknik ini dilakukan dengan cepat dalam gerakan tersamar yang tidak disadari penonton.

 

Teknik usap wajah ini pernah diterapkan dalam lakon Wang Kui. Kisah ini tentang seorang suami yang hidup susah. Ia kemudian didukung istrinya untuk meneruskan sekolah ke ibukota. Ia pun berangkat ke kota dan menamatkan sekolahnya dan kemudian mendapat jabatan di pemerintahan. Namun saat keberhasilan sudah diraih, ia lupa pada jerih payah istrinya. Ia malah menikahi putri perdana menteri. Istrinya di desa yang mendengar kabar suaminya menikah lagi kemudian frustrasi dan gantung diri hingga mati.

 

Si suami yang merasa bersalah menjadi sangat gelisah. Tiba-tiba pada suatu malam, roh istrinya menghantui. Si suami terkejut dan mengusap wajahnya beberapa kali. Saat itu, wajahnya berubah-ubah dari hijau pucat sampai pucat pasi memutih sampai akhirnya berperan mati seketika. Teknik ini menggunakan cara mengusap wajah saat menunjukkan gerakan takut dan terkejut. Selama episode ketakutan itu, tangan selalu melintasi wajah dan memunculkan perubahan wajah beberapa kali.

 

Teknik ketiga adalah menarik wajah. Ini adalah teknik yang paling sukar di antara dua teknik sebelumnya. Cara ini dilakukan oleh pemeran bian lian yang benar-benar ahli. Sebelumnya sudah disiapkan sejumlah pelapis wajah dari bahan yang sangat tipis (sekarang dipakai sutra tertipis). Di lembaran topeng sutra itu, dilukis wajah-wajah yang akan ditampilkan. Lalu masing-masing diberi tali sutra yang halus namun kuat. Tali-tali ini diikatkan ke bagian tubuh seperti tangan, bahu, pinggang dan siku. Dengan gerakan tertentu saat salin rupa, tali yang terikat itu akan ditarik pemain, sehingga memunculkan perubahan wajah yang cepat.

 

Lantas masing-masing lapisan direkatkan ke wajah dengan menggunakan zat perekat yang dengan akurat diukur. Tidak boleh terlalu banyak atau terlalu sedikit. Kesalahan dalam memasang perekat bisa merusak seni dan mempermalukan pemain dan opera tersebut. Walau secara teknik digambarkan demikian, namun pada praktiknya, seni bian lian tidak semudah itu. Dibutuhkan kedisiplinan dan penguasaan teknik yang memadai, lihai dan cekatan mirip trik ilusi pada sulap yang melakukan gerakan cepat melebihi kemampuan mata untuk menganalisis. Benar-benar seni pertunjukan yang memukau!

 

Kontroversi tentang “Orang Luar”

 

Bian Lian memiliki aturan ketat dalam setiap generasi keluarga tertentu yang mewarisi ilmu tersebut dari leluhurnya. Selama ratusan tahun, seni tersebut diturunkan dalam lingkungan keluarga saja. Bian Lian tidak diperkenankan diajarkan kepada orang di luar “garis darah” keluarga tersebut. Sebuah kontroversi mengenai bian lian pernah mengemuka sejak tujuh tahun lalu. Saat seorang pewaris seni bian lian akhirnya menerima aktor Andy Lau sebagai murid. Guru besar itu disebut-sebut sebagai Peng Deng Huai. Keputusan untuk mengajarkan bian lian kepada Andy Lau yang tergolong “orang luar” itu ternyata mengundang reaksi keras dan perdebatan masyarakat.

 

Namun, kini Andy Lau sudah menguasai keterampilan bian lian dengan biaya sekitar 3 juta yuan. Namun Andy Lau hanya mempelajari triknya dan bukan menguasai ilmunya. Begitupun, berdasarkan kabar yang beredar, rekor tercepat Andy Lau ialah mampu 6 kali bersalin wajah dalam satu menit. Sementara murid seperguruannya Chen Yang Yi (seorang perempuan) pada Juni lalu menuturkan bahwa Andy Lau hanya menguasai trik umumnya saja dan belum mencapai tahap master.

 

Sementara Yang Yi sudah menguasai ilmu yang lebih tinggi dan mampu melakukan 7 kali persalinan wajah dalam satu menit. Lalu kabar lain beredar bahwa perempuan lain juga sudah mempelajari bian lian, yaitu seorang gadis Malaysia turunan bernama Candy Chong. Ia cukup populer sebagai wanita yang menguasai bian lian, sebuah seni yang dipelajarinya dari sang ayah.

 

Agaknya aturan keras soal bian lian kini mulai merapuh seiring kemajuan zaman. Begitupun, kontroversi soal ini masih menjadi perdebatan. Apakah bian lian sudah bebas untuk dipelajari seperti seni pertunjukan lain, ataukah akan dipertahankan dalam garis keluarga saja dari ayah ke anak lelaki dan keturunan lelaki selanjutnya? Mungkinkah suatu saat nanti bian lian bukan lagi sebuah rahasia istimewa?
Sumber : triy.wordpress.com

 

Sumber : http://maskolis.blogspot.com/2011/09/bian-lian-seni-mengubah-wajah.html

Emas dan Batu

Ditulis Oktober 11, 2011 oleh sinauseni
Kategori: Uncategorized

Berkat kerja keras dan selalu menabung, petani itu akhirnya kaya raya. Karena tak ingin tetangganya tahu mengenai kekayaannya, seluruh tabungannya dibelikan emas dan dikuburnya emas itu di sebuah lubang di belakang rumahnya. Seminggu sekali digalinya lubang itu, dikeluarkan emasnya, dan diciuminya dengan penuh kebanggaan. Setelah puas, ia kembali mengubur emasnya.

Pada suatu hari, seorang penjahat melihat perbuatan petani itu. Malam harinya, penjahat itu mencuri seluruh emas si petani.

Esok harinya petani itu menangis meraung-raung sehingga seluruh tetangga mengetahui apa yang terjadi. Tak seorang tetangga pun tahu siapa yang mencuri emasnya. Jangankan soal pencurian, tentang lubang berisi emas itu saja mereka baru tahu hari itu. Kalau tidak ada pencurian, tak ada yang tahu bahwa petani itu memiliki emas yang dikubur di belakang rumahnya. Sebagian orang ikut bersedih atas pencurian itu, sebagian yang lain mengejek dan menganggap petani itu bodoh.

“Salah sendiri menyimpan emas di rumah. Mengapa tidak dijual saja dan uangnya dipakai untuk membangun rumah. Biar rumahnya lebih bagus, tidak reot seperti sekarang. Itulah ganjaran orang kikir. Kalau dimintai sumbangan, selalu saja jawabannya tidak punya. Sekarang, rasakan sendiri!”

Tetapi tak seorang pun yang berani terus terang mengejek atau mengumpat petani yang ditimpa kemalangan itu. Semua ejekan dan umpatan hanya diucapkan di antara sesama mereka saja, tidak di hadapan si petani. Hanya seorang lelaki tua miskin yang berani bersikap jujur kepada petani itu. Lelaki tua itu tinggal tak jauh dari rumah si petani.

“Sudahlah, begini saja. Di lubang bekas emas itu kuburkanlah sebongkah batu atau apa saja dan berlakulah seperti sebelum kau kecurian.”

Mendengar itu, si petani marah.

“Apa maksudmu? Kau mengejekku, ya? Yang hilang itu emas, bukan batu. Kau sungguh tetangga yang jahat. Kau memang orang miskin yang cuma bisa mengubur batu. Aku bisa mengubur emas atau apa saja semauku. Kini aku kehilangan emas dan kau enak saja menyuruhku mengubur batu. Kau pikir batu sama dengan emas?!”

Suasana pun gaduh. Orang-orang melerai.

Dengan tenang lelaki tua itu menjawab:

“Apa bedanya emas dan batu? Kalau kau bisa mengubur emas, seharusnya kau juga bisa mengubur batu. Tahukah kau, dengan mengubur emas berarti kau telah menjadikan logam mulia itu sebagai barang yang tidak berharga. Lalu, apa salahnya kau mengubur batu dan berkhayal yang kau kubur itu adalah emas.”

(Diceritakan kembali oleh: Prih Suharto. Sumber: Sketches for a Portrait of Vietnamese Culture)
http://www.ceritaanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=74:emas-dan-batu&catid=37:cerita-untuk-anak&Itemid=57

Lomba Gambar Berhadiah ke Jerman, 2 siswa Cirebon (Sinau Art) menang.

Ditulis Juni 8, 2011 oleh sinauseni
Kategori: Pembelajaran

Sebanyak 1.200 peserta tercatat memeriahkan lomba menggambar yang dilaksanakan oleh Faber-Castell bekerjasama dengan Kompas.com di Pluit Village, Minggu (13/3/2011)

JAKARTA, KOMPAS.com – Lomba gambar bertemakan the castle of your dreams, yang digelar dalam rangka 250 tahun Faber-Castell sampai di puncak acara. Dalam closing ceremony diumumkan juga tiga juara lomba gambar nasional, yang nantinya berkesempatan menghadiri puncak acara peringatan 250 tahun Faber-Castell di Stein, Jerman, pada Juli mendatang.

“Masing-masing pemenang akan mempunyai kesempatan ke Jerman bersama seorang pendamping. Selain menghadiri acara puncak, di sana mereka juga akan diajak keliling ke beberapa kota. Ini adalah sesuatu yang baik, karena melalui imajinasi, mereka bisa berangkat ke Jerman,” kata Managing Director PT Faber-Castell International Indonesia, Yendramin Halim, Minggu (5/6/2011), di Jakarta.

Ketiga juara lomba gambar nasional tersebut mewakili tiga kategori, yaitu kategori A untuk peserta tingkat taman kanak-kanak (TK) dimenangi oleh Rofifah Marwa Zayyanti (event Cirebon). Kategori B, untuk peserta tingkat sekolah dasar (SD) kelas 1-3 dimenangi oleh Alycia Febriana (event Jakarta), dan juara kategori C untuk peserta tingkat SD kelas 4-6 dimenangi oleh Tustita Metadewi Jayamangalani Suprapto (event Bandung).

Adapun untuk proses penjuriannya, dilakukan oleh para praktisi pendidikan Wakil Dekan Seni Rupa IKJ, Lukcy Wijayanti, Dosen UNJ, Melina Surya Dewi dan creative development PT Faber-Castell, Yayu Afliyani Rahayu pada Jumat (25/5/2011) lalu.

“Kriteria penilaiannya adalah komposisi warna, teknik warna, kebersihan, kerapihan dan kreativitas,” kata Yayu. Ketua panitia lomba gambar 250 tahun Faber-Castell, Niken D.Maharani mengatakan, pihaknya sangat terkejut dengan antusiasme dari anak-anak Indonesia yang berpartisipasi dalam lomba ini.

“Saya berharap nantinya lomba ini, selain membangun sisi kreativitas anak-anak Indonesia, juga akan memunculkan para seniman lukis asal Indonesia yang mungkin bisa menjadi pelukis bertaraf internasional,” katanya.

Niken juga menjelaskan, seleksi akhir untuk menentukan juara nasional berlangsung sangat ketat. “Karena hasil gambar yang berhasil maju ke tahapan seleksi akhir merupakan hasil gambar yang terbaik,” ujarnya.

Lomba gambar ini telah dilaksanakan di 31 kota di seluruh Indonesia sejak 27 Februari sampai 1 Mei lalu. Dalam lomba tersebut, tercatat sedikitnya 36 ribu peserta mengikuti kegiatan ini.

 

http://megapolitan.kompas.com/read/2011/06/05/21574845/Lomba.Gambar.Berhadiah.ke.Jerman

2011 Indonesian Arts And Culture Scholarship Programme

Ditulis Mei 31, 2011 oleh sinauseni
Kategori: Uncategorized


Short Term Programme

The Indonesian Arts and Culture Scholarship

25 April – 29 July 2011

A. BACKGROUND

The Indonesian Arts and Culture Scholarship has been conducted since 2003 and was initially offered to and participated by member countries of the South West Pacific Dialogue (SwPD); Australia, New Zealand, Papua New Guinea, the Philippines, Timor-Leste, and the host Indonesia.

Bearing in mind the significance and advantages obtained from the program, the offer was expanded over the years to include member countries of ASEAN, ASEAN+3, and PIF, as well as India and South Africa. In 2008, Indonesia welcomed the participation of Azerbaijan, the Netherlands, the United Kingdom, and the United States. Since 2009, Austria has joined the program and in 2010 the Government of Indonesia has given the opportunity for participants from France, Germany, Italy, Russia, Spain and Suriname. This year, Indonesia will invite participant from Hungary, Poland, the Czech Republic and Turkey to join the program.

Due to the limited space and the vast amount of interest in the program, the Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia in cooperation with Indonesian embassies and consulates overseas, hold a series of selection process. Taken into considerations are, among others, the participants’ background, gender and regional representation.

In order to deepen the participants’ understanding of Indonesian arts and culture, and to enhance their skills for the final performance, participants will be divided and assigned by the organising committee to different arts centers for the duration of approximately two and a half month. The arts centers are located in Bandung, West Java; Denpasar, Bali; Solo, Central Java; Surabaya, East Java; and Bandar Lampung, Lampung.

Participants will live within or around the arts centers, allowing for the chance to experience the local heritage and interact with the local community. Synergy between theory and practices shared inside and outside the art centers would undoubtedly become the driving force for shaping international cultures and norms, and will eventually strengthen regional as well as global understanding and cooperation at a people-to-people level.

 

B. OBJECTIVE

The program serves to demonstrate Indonesia’s commitment in advancing the social culture cooperation of various countries in the world. The program also has an objective to encourage better understanding amongst participants Indonesia’s immensely diverse art and cultural heritage. Finally, the programme aims to cultivate a cultural of cooperation, emerging from direct contact and sharing of cultures amongst people involved in the program, leading to thriving diplomatic relations in the region and worldwide.

C. PARTICIPANTS

Participants of the 2011 IACS include 50 awardees of regional organizations of the SWPD, PIF, as well as from Austria, Azerbaijan, China, France, Germany, Hungary, India, Italy, Japan, Poland, Russia, South Africa, South Korea, Spain, Suriname, The Czech Republic, The Netherlands, The United States, Turkey, and United Kingdom.

 

D. TIME

The non-degree arts and culture scholarship is offered for three months period of time, starting on 25 April to 29 July 2011.

 

E. LOCATION

The participants will be divided into five groups and assigned to the five arts centers (sanggar) located in Bandar Lampung, Lampung; Bandung, West Java; Denpasar, Bali; Solo, Central Java and Surabaya, East Java.

 

F. LIST OF COURSES

In Bandung, West Java, participants will learn Sundanese art and culture namely the production, maintenance and appreciation to angklung; karawitan, wayang golek, and traditional dance of Sunda.  They will also learn Sundanese and Indonesian Language as a component of the culture.

The participants will learn Javanese art and culture such as the process of batik and its significance; karawitan; traditional Javanese dance; and Javanese language and culture in Solo and Surabaya.

In Bali, the participants will learn Balinese art and culture, namely Balinese dance and gamelan.  Each art centre will also arrange special visit to several historic as well as renowned tourist destinations for participants.

In Bandar Lampung, Lampung, the participants will learn Sumateran art and culture such as selected Sumatera dance and traditional instruments. The center will also arrange extra-curricular activities, excursions and field study.

Prior to their residency at art centres, the participants will undertake 10 days of orientation in Jakarta and will learn issues such as the Aim and Objectives of the Scholarship; Introduction to Indonesian Culture; Information about Bandung, Solo, Surabaya, Denpasar and Bandar Lampung.

The scholarship covers:

  • Tuition fee (including extra-curricular activities);
  • A round trip economy class ticket;
  • Accommodation (board and lodging);
  • Health insurance;
  • Monthly allowance of Rp. 1.500.000,-.

 

G.  ADDRESS

For the Indonesian applicants, the application form could be sent to:

THE MINISTRY OF FOREIGN AFFAIRS

Directorate of Public Diplomacy 

Tower Building, 12th Floor

Jl. Taman Pejambon no. 6

Jakarta 10110

For the foreign applicants, the application form could be sent to:

The Embassy/the Consulate General of Indonesia in respective countries

 

H.  CLOSING DATE

 

All applications should be received by the Ministry of Foreign Affairs of Indonesia on 20 March 2011, at the latest.

 

Terms and Conditions:

 

1.    Candidates should preferably be between the ages of 21 to 30 years-old with at least a high school diploma;

2.    Candidates should possess high interest and talent in arts. Arts students or those with an academic history on Indonesian culture are encouraged to apply;

3.    Bearing in mind the intensity of the program, candidates are highly advised to ensure prime physical conditions, particularly for female candidates to ensure that they do not conceive prior and during the program;

4.    Candidates must complete the application form (attached) and submit it along with the followings:

1)    3 (three) passport-sized photographs;

2)    A photo-copy of passport with validity period at least two years;

3)    A photo-copy of academic diploma;

4)    A photo-copy of the latest valid health certification from a qualified medical practitioner.  On the day of leaving the origin country, participants should equipped themselves with a valid health certification from a qualified medical practitioner;

5)    A letter of recommendation;

6)    A personal statement declaring the following:

a.     the willingness to be subject to Indonesian laws and regulations during his/her stay in Indonesia;

b.     the willingness to follow all the rules and regulations set up by the organizing committee and art centers;

c.     the willingness to accept the facilities provided by the organizing committee and arts centers and stay at the designated accommodations;

d.     not to work or be employed for financial benefits during the program;

e.     the willingness to follow the travel arrangements arranged by the organizing committee to and from Indonesia;

f.      the willingness to participate in all the program arranged by the organizing committee and art centers, unless, during the program, declared unfit by a qualified medical practitioner;

g.     the willingness to leave Indonesia immediately after the closing ceremony, at a date determined by the organizing committee.

5.    The programme will include Indonesian language lessons.  A minimum skill in Bahasa Indonesia or English will be an advantage for candidates, but is not a main criterion for the programme.

Programme:

I.     Orientation programme in Jakarta, 25 April – 1 May 2011

§   Bahasa Indonesia courses;

§   Introduction to Indonesian history, culture and foreign policy;

§   Visits to museums and other Indonesian tourism landmarks;

§   An outbound training.

II.   Indonesian Arts and Cultural Training, May – July 2011

§   Sundanese culture (in Bandung)

a.       Angklung and arumba (traditional Sundanese instruments);

b.       Wayang golek (traditional Sundanese puppetry);

c.       Selected Sundanese dances;

d.       Pencak silat (traditional Sundanese martial arts);

e.       Extra-curricular activities, excursions and field study.

§   Javanese culture (in Solo and Surabaya)

a.       Selected Javanese dances;

b.       Karawitan musical arts;

c.       Extra-curricular activities, excursions and field study.

§   Balinese culture (in Denpasar)

a.       Selected Balinese dances;

b.       Gamelan (traditional Balinese instruments);

c.       Extra-curricular activities, excursions and field study.

§   Sumateran culture (in Bandar Lampung)

a.       Selected Sumatera dances;

b.       Traditional Sumatera instruments;

c.       Extra-curricular activities, excursions and field study.